Promosi

Monday 24 March 2014

MENUJU PULAU NAN INDAH SARONDE NAMANYA

Ini kisah mengenai perjalanan kami menuju pulau Saronde yang terletak di kabupatan Gorut, menurut warga sekitar Saronde adalah bak Hawaii yang ada di negeri ini Indonesia. 
untuk menuju Saronde kami menggunakan perahu nelayan yang cukup untuk menampung muatan hingga 25 orang, perorang kami dikenai biaya 30rb rupiah untuk mencapai sana. Ini keindahan pulau yang berada di wilayah provinsi Gorontalo tersebut.


















Sebagaimana Lyric Lagu "Tanah Air Ku"

Tanah airku tidak kulupakan; Kan terkenang selama hidupku; Biarpun saya pergi jauh; Tidak kan hilang dari kalbu; Tanah ku yang kucintai; Engkau kuhargai ..
Walaupun banyak negri kujalani; Yang masyhur permai dikata orang; Tetapi kampung dan rumahku; Di sanalah kurasa senang; Tanahku tak kulupakan; Engkau kubanggakan ..
Aku Bangga Padamu Negriku INDONESIA

Sunday 2 March 2014

POLAHI TAK LAGI MISTERI, GOROTALO. INDONESIA

Ada anak-anak bermain dalam hutan, empat hari jalan kaki ke jantung Paguyaman! Mungkinkah ada anak-anak yang bermain sejauh itu, mengikuti orang tuanya menambang emas dan merambah hutan? Tak mungkin bulu kuduk kami meremang. Kami sedang bertemu suku Polahi, suku ini menurut warga desa kerap menguji ilmu pendatang yang berkunjung atau melintasi wilayah mereka tinggal.
Hasrat bertemu sudah terpenuhi, kini segala rasa bercampur aduk di dalam benak, penasaran dan khawatir. Apa yang akan terjadi kini? Sekilas mereka kurang bersahabat saat kami temui, takut dan curiga ketika kami berusaha memberikan salam perkenalan. Mereka sedikit bisa dan paham bahasa Indonesia, namun isyarat dan bahasa tubuh yang bersahabat merupakan cara berhubungan yang terbaik. Mengamati seragam yang kami gunakan, sepertinya mereka dapat mengenali kami (Anggota TNI dan Polri).
Kami sahabat mereka. Pada minggu kelima penjelajahan itu, kami akhirnya menjumpai pondok-pondok panggung kayu beratap daun kelapa, pemukiman suku Polahi. Suku Polahi menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Tidak sudi diperas dan dikenakan pajak oleh penjajah, mereka melarikan diri dan tinggal di hutan secara berkelompok hingga kini. 
Layaknya suku pedalaman, ada kecendrungan pemisahan tempat tinggal antara kaum pria dengan wanita. Saat kami bertemu, hanya ada satu dua pria di antara wanita dan anak-anak. Mungkin kaum pria sedang berburu atau memungut hasil hutan untuk keperluan keluarga atau kelompok. Pondok pamggung mereka pun tak jauh dari tanah, sekitar 1 M saja. bagian bawah beralas tanah untuk kegiatan keluarga seperti memasak, panggung kayu untuk tidur dan istirahat.
Tinggal jauh di dalam hutan, dengan keluarga dan kelompok mereka saja menimbulkan kebiasaan tak lazim yang ditentang oleh kebanyakan adat dan agama: perkawinan antarkeluarga, sedara (incest)diperbolehkan. Ayah menikahi putri kandungnya, atau anak pria menikahi ibu kandungnya atau saudari sendiri menjadi biasa. hanya beberapa dari mereka berhubungan dengan warga desa dan kota terdekat untuk keperluan barter memenuhi kebutuhan dasar seperti pakaian yang mereka kenakan.
mengetahui betul bahwa Indonesia telah merdeka, mungkin suatu saat mereka akan kembali ke desa, berbaur dengan warga desa lain, tak lagi sengaja mengasingkan diri ke pedalaman Gorontalo. Mereka berhak mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Kehidupan suku pedalaman Polahi yang tinggal di dalam hutan Paguyaman, butuh waktu 4 jam berjalan kaki dari desa terdekat untuk mencapai lokasi mereka tinggal.

Sumber dari tim Penjelajah Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi 2013 Subkorwil Gorontalo  yang telah dimuat di dalam buku Ekspedisi NKRI 2013.